Teachers’ professional development has long been linked
to educational reform. Models of professional development are profuse, as are
empirical reports of their implementation. Significant issues have been shown
to include time, resources, top-down implementation efforts, lack of follow up,
lack of contextualization, lack of consideration of teachers’ personal investment
in practice, and teacher isolation. Given the vast amount of literature now
available to show exactly what enhances and what inhibits professional development
in different contexts, there seems little need for further study on the subject.
Pengembangan profesional guru telah lama dikaitkan dengan reformasi (perubahan) pendidikan. Banyaknya model-model pengembangan profesional merupakan bukti pelaksanaan program tersebut. Dalam pengembangan profesional guru terdapat berbagai masalah penting seperti masalah waktu, sumber daya, jatuh dan bangunnya upaya pelaksanaan, kurangnya tindak lanjut, kurangnya kontekstualisasi, kurangnya kegiatan praktek guru, dan isolasi guru. Mengingat banyak sekali tulisan sekarang yang tersedia untuk untuk menunjukkan secara tepat apa yang meningkatkan dan apa yang menghambat pengembangan profesional dalam konteks yang berbeda, sepertinya sedikit dibutuhkan study lebih lanjut tentang hal tersebut.
However
in the past decade, two trends have emerged which have waged significant influence
upon our conceptualization and attitudes about teacher learning. One is
increasing replacement of the term professional development with the broader
signifier lifelong learning. The other is a shift from focus on individual
teachers developing skills to conceptualizing learning evolving in communities
of practice (Davis and Sumara, 1997). In particular, enthusiasm appears to have
grown for the notion of building “learning community” (Mitchell and Sackney,
2001). Together with the changing demographics of the teaching profession,
these trends are reconfiguring issues of teachers’ professional development.
They are also linking teachers’ knowledge and practice to broader questions
pervading other sectors of public service, community and industry, about the
purposes of lifelong learning and the links between lifelong learning, work,
relationships, and identity.
Meskipun demikian dalam dua dekade terakhir, dua tren yang muncul berpengaruh pada konseptualisasi dan sikap kita tentang pembelajaran guru. Salah satunya adalah melakukan pergantian (perubahan) istilah pengembangan profesional dengan pengertian yang lebih luas mengenai pembelajaran seumur hidup. Yang lainnya adalah pergeseran dari fokus mengembangkan keterampilan pada individu guru ke mengkonseptualisasikan pengembangan pembelajaran dengan komunitas praktek (Davis dan Sumara, 1997). Secara khusus antusiasme nampaknya telah ditanamkan untuk gagasan menbangun “komunitas belajar” (Mitchell dan Sackney, 2001). Bersama dengan perubahan demografi profesi guru,tren ini mengatur ulang masalah pengembangan profesional guru. Tren tersebut juga menghubungkan pengetahuan guru dan praktek untuk memperluas pertanyaan yang mencakup sektor pelayanan publik lain, komunitas/masyarakat dan industri, tentang tujuan pembelajaran seumur hidup and hubungan antara belajar seumur hidup, bekerja, hubungan, dan ciri khas.
The
central concern of this article is the role of policy and administration at
both provincial, district and school levels seeking to foster teachers’
learning towards improving schools. Policy should support supervisory practice
which honours the diverse processes of professionals’ learning as interpretive
meaning-making, and links learning to core visions (Sergiovanni and Starratt,
2001). Supervision that supports teacher learning must also somehow navigate
between teacher needs for autonomy and flexibility (Green, 1992) and public
demands for professional accountability and measurable competency.
Perhatian utama dari artikel ini adalah peran kebijakan dan administrasi di tingkat provinsi, daerah dan tingkat sekolah yang berusaha untuk membantu pembelajaran guru untuk meningkatkan sekolah. Kebijakan harus mendukung pengawasan yang menghormati berbagai proses pembelajaran profesional sebagai penafsiran makna keputusan, dan hubungan pembelajaran dengan inti visi (Sergiovanni dan Starratt, 2001).Pengawasan yang mendukung pembelajaran guru bagaimanapun juga harus menjalankan/mengatur antara kebutuhan guru untuk otonomi dan fleksibelitas (Green, 1992) dan tuntutan publik untuk akuntabilitas profesional dan kompetensi terukur.
Teacher
professional growth plans (TPGPs) may satisfy these competing interests. Mandated
in Alberta in 1998, in New Brunswick in 1997 as portfolios, and currently
receiving serious consideration in Nova Scotia, professional growth plans appear
to foster the flexibility, holism and affirmation necessary to accommodate
diverse teachers and contexts. Because they are teacher-directed, TPGPs honour
professional autonomy, yet as policy they urge district commitment to teacher
learning. In practice, some districts have demonstrated the potential of TPGPs
to catalyse teacher collaboration in ways that build productive learning
communities within schools. As a preface to a later discussion of teacher professional
growth plans in policy and practice, the following section describes issues of
lifelong learning and learning community that deserve consideration by those
interested in interventions to foster teachers’ continuing development.
Rencana pertumbuhan profesional guru (TPGPs) dapat meningkatkan persaingan. Diamanatkan pada Alberta pada tahun 1998, di New Brunswick pada tahun 1997 sebagai kebijakan, dan sekarang serius dipertimbangan di Nova Scotia, rencana pertumbuhan profesional muncul untuk mendorong fleksibilitas, holisme dan penegasan yang diperlukan untuk mangakomodasi beragam guru dan konteks. Karena mereka adalah guru yang diarahkan, TPGPs menghormati otonomi profesional, namun sebagai kebijakan mereka mendesak komitmen daerah untuk pembelajaran guru. Dalam prakteknya, beberapa daerah telah menunjukkan potensi TPGPs untuk meningkatkan kerjasama guru dengan cara membangun komunitas belajar yang produktif di sekolah. Sebagai kata pengantar untuk sebuah diskusi rencana pertumbuhan profesionalan guru pada kebijakan dan praktek, bagian berikut menjelaskan masalah pembelajaran seumur hidup dan pembelajaran masyarakat/komunitas yang patut dipertimbangkan oleh mereka yang tertarik pada untuk mendorong guru melanjutkan pembangunan.
Issues
in Professionals’ Knowing, Lifelong Learning and Learning Communities
Research
in professionals’ ways of knowing has for the past few decades focused on how
individuals construct knowledge through practice, sometimes with reflection on
that practice, in particular communities configured by cultural norms, values,
particular language and histories, and politics. Despite much critique, Schon’s
(1983) notion of “the reflective practitioner” reflecting critically both on
action (after the fact), and reflecting in uncertain, volatile and
unpredictable situations continues to be promoted widely in teacher preservice
and continuing professional education. Clandinin (1995) has shown how for
teachers, personal knowledge is holistically entwined with practical knowledge.
Psychoanalysis has excited recent interest in the role of teachers’ desire
(Todd, 1997) and resistances (Britzman, 1998) in their learning and teaching,
especially in exploring their unconscious knowledge about themselves.
Sociocultural views understand teachers’ learning as inseparable from systems
of relationships and interactions in which they participate (Davis and Sumara,
1997). Their growth is interconnected with the discourses, meanings, desires
and opportunities surrounding them (Garman, 1995).
Penelitian secara profesional selama beberapa dekade terfokus pada bagaimana individu membangun pengetahuan melalui praktik, kadang-kadang dengan menerapkan pada praktik di masyarakat yang khusus diatur oleh norma-norma, nilai, bahasa tertentu dan sejarah, serta politik. Meskipun banyak kritik, Gagasan Schon’s (1983) tentang “penerapan praktek” mencerminkan kritik pada praktek dan faktanya yang mencerminkan ketidak menentuan, ketidak stabilan, dan tidak terdugaan situasi sehingga mempengaruhi pembentukan/pembimbingan guru dan pendidikan profesional. Clandinin (1995) telah menunjukkan bagaimana pengetahuan individual guru berhubungan dengan pengetahuan praktek. Penganalisis belakangan ini tertarik pada peran dari keinginan guru (Todd, 1997) dan penghambatnya (Britzman, 1998) dalam pembelajarannya dan pengajaran, khususnya dalam menggali pengetahuan mereka tentang diri mereka sendiri. Sosial budaya melihat pemahaman pembelajaran guru sebagai hal yang tidak terpisahkan dari sistem hubungan dan interaksi di mana mereka berpartisipasi (Davis dan Sumara, 1997). Perkembangan mereka saling dihubungkan dengan wacana, makna, keinginan dan kesempatan di sekitar mereka (Garman, 1995).
While
there is contestation among these views, some overall themes of teacher
learning may be argued to include the integration of various knowledges (personal,
practical, relational) with teachers’ participation in various communities of
the school; the embedding of learning in practice; the important role of
intentionality and reflection in learning; and the significance of both
internal personal conflicts and external culture and relationships on teachers’
learning. Inspired by these emerging understandings of teacher learning, professional
development initiatives in schools have employed a combination of approaches.
Poole (1995) claims that clinical supervision has given way to reflective,
growth-oriented models of increased collegiality. Others emphasize
teacher-directed learning through self-reflection and dialogue in relationships
founded upon trust and respect (Garman, 1990; McBride and Skau, 1995). Reflective
practice has been encouraged through initiatives training supervisors and
teachers in critical reflection (Siens and Ebmeier, 1996), through portfolios
(Bosetti, 1996), mentorship programs and action research. In Alberta a study of
teacher evaluation practices across the province showed the effectiveness of
teachers’ individual goal-setting and reflective selfassessment on an ongoing
basis in a culture fostering continuous learning and believing in teachers’
essential competence (Maynes et al, 1995). However, analyses of school-based initiatives
to foster teachers’ professional development tend to report similar problems:
limited commitment from senior administrators or limited time (Herbert and Tankersley,
1993); teacher commitment varying according to individual philosophies, attitudes
and experience of teaching (Hyun and Marshall, 1996) and the lack of
monitoring, support and adjustment that is required to sustain change over the
long term.
Walaupun ada pembantahan dengan pandangan ini, beberapa tema pembelajaran guru keseluruhnya dapat dikatakan untuk memasukkan integrasi dari berbagai macam pengetahuan (pribadi, praktik,kerjasama). Pengetahuan tersebut didapatkan dengan partisipasi guru di berbagai kelompok/komunitas di sekolah; menanamkan pembelajaran dengan praktik; peran penting intensionalitas dan refleksi pembelajaran; dan makna masalah internal perseorangan dengan budaya luar dan hubungannya dengan pembelajaran guru. Terinspirasi oleh pemahaman-pemahaman yang muncul dari pembelajaran guru, gagasan pembangunan profesional di sekolah telah menggunakan berbagai pendekatan. Poole (1995) mengklaim bahwa kebijakan klinis telah memberikan cara untuk berpikir, tumbuh- berorientasi pada model kolegialitas yang meningkat. Lainnya, menekannkan guru-diarahkan belajar melalui refleksi mandiri dan dialog dalam hubungan yang didasarkan atas kepercayaan dan hormat. (Garman, 1990; McBride dan Skau, 1995). Penerapan pemikiran telah didorong melalui pelatihan inisiatif pengawas dan guru pada pemikiran kritis (Siens dan Ebmeier, 1996), melalui surat (Bosetti, 1996),program bimbingan dan penelitian. Di Alberta penelitian tentang penerapan evaluasi guru di seluruh propinsi menunjukkan efektivitas dari tujuan individu guru (pengaturan) dan penerapan tugas individual secara berlanjut dalam suatu budaya yang mendorong pembelajaran terus menerus dan mempercayai kompetensi penting guru (Maynes et al, 1995). Meskipun demikian, analisis sekolah berbasis inisiatif untuk mendorong pengembangan profesional guru cenderung untuk melaporkan masalah yang sama: komitmen terbatas dari administrator senior atau waktu yang terbatas (Herbert dan Tankersley, 1993); komitmen guru beragam sesuai filosofi hidupnya, sikap dan pengalaman mengajar (Hyun dan Marshall, 1996) dan kurangnya pengawasan, dukungan dan pengaturan yang diperlukan untuk mempertahankan perubahan dalam jangka panjang.
The term
“lifelong learning” invites a much broader scope of definitions than
“professional development” of what constitutes worthwhile knowledge and who
sets the definition of ‘good teaching’ that guides learning. While professional
development clearly denotes learning for the sake of improving professional
practice, lifelong learning is not rooted in any particular moral or
professional commitment. The question becomes, learning what, and for which
purposes? For example, is learning legitimate if it leads people out of
teaching? Critics of the current sloganeering surrounding “lifelong learning”
are also concerned about the irrevocable yoking of personal learning to
vocational ends, marking all learning as economistic and measured according to
productivity and efficiency (i.e., Martin, 1999). Lifelong learning becomes an
individualistic enterprise, its purpose to consume skills while turning
teaching into an endless human resource development project. And as Seddon
(2000) argues, this focus threatens the solidarity and collective nature of
teaching that grounds learning in ideals of equity and participational
democracy.
Istilah pembelajaran seumur hidup meliputi lingkup definisi yang luas daripada pembangunan keprofesionalan yang merupakan pengetahuan yang bermanfaat dan yang menentukan definisi dari mengajar yang baik dan yang memandu pembelajaran. Sementara pengembangan keprofesionalan jelas menunjukkan pembelajaran demi meningkatkan praktek profesional, belajar seumur hidup tidak berakar pada setiap moral kusus atau komitmen profesional. Pertanyaannya menjadi, belajar apa, dan untuk tujuan apa? Contohnya, apakah sah belajar itu jika membuat orang keluar dari pengajaran? Kritik dari slogan belajar seumur hidup juga fokus dengan ketidakterpisahannya proses pengajaran dengan tujuan akhir, menandai semua pembelajaran sebagai ekonomistik dan diukur sesuai dengan produktivitas dan efisiensi (yaitu, Martin, 1999). Pembelajaran seumur hidup menjadi usaha pribadi, tujuannya untuk mengembangkan dan memperoleh keterampilan sementara penyusunan pengajaran menjadi rencana pengembangan sumber daya manusia yang tak ada habisnya. Dan menurut Seddon (2000) berpendapat, fokus ini mengancam sifat solidaritas dan sifat pengajaran bersama yang dasar pembelajaran mempunyai cita-cita keadilan dan partisipasi demokrasi.
The
notion of “learning community” that has become popular in schools (Sergiovanni,
1994; Shields, 2000) may help avoid potential individualism, vague purposes or
technicist approaches to teachers’ lifelong learning. According to Mitchell and
Sackney (2000), learning community is developed through building three modes of
capacity: personal, interpersonal, and organizational. Building personal
capacity involves individual teachers confronting and perhaps reconstructing
their structures of personal narratives shaping their practice: embedded
values, assumptions, beliefs and practical knowledge. Interpersonal capacity
depends on fostering both an affective climate where teachers feel affirmed and
motivated to participate, and a cognitive climate that encourages learning.
Organizational capacity depends upon the productive rearrangement of structures
that can enable and encourage collective learning: resources, power relationships,
and work design.
Gagasan "pembelajaran masyarakat" yang telah menjadi populer di sekolah (Sergiovanni,1994; Shields, 2000) dapat membantu menghindari individualisme potensial, ketidakjelasan tujuan jelas atau teknik pendekatan untuk pembelajaran seumur hidup bagi guru. Menurut Mitchell dan Sackney (2000), belajar masyarakat dikembangkan melalui tiga model pembangunan kapasitas: personal, interpersonal, dan organisasi. Membangun kapasitas pribadi melibatkan guru menghadapi dan mungkin merekonstruksi struktur pemikiran mereka dalam praktek: nilai-nilai yang tertanam, asumsi, keyakinan dan pengetahuan praktis. Kapasitas interpersonal tergantung pada pengembangan iklim afektif di mana guru merasa ditegaskan dan termotivasi untuk berpartisipasi, dan kognitif iklim yang mendorong pembelajaran. Kapasitas organisasi tergantung pada produktif penataan ulang struktur yang memungkinkan dan mendorong pembelajaran bersama: sumber daya, kekuasaan hubungan, dan desain kerja.
Turning
to the central purpose of this article - to propose policy and administrative
practice fostering teachers’ lifelong learning - the foregoing discussion
suggests several questions for consideration. How might policy and administrative
practice encourage learning communities that promote personal, interpersonal
and organizational capacity-building? How can jurisdictions encourage teachers’
learning in ways that affirm capacity, allow flexibility, provide incentive and
encourage accountability for learning without exercising surveillance and control
through hierarchical power relationships? What approaches have positive impact
on students’ learning, while honouring teachers as self-directed professionals
with different needs and learning processes? What kinds of policy can place
importance on continuous professional learning and development, without
narrowing the focus to individuals’ skill development without contextualization
in collective action, social critique and moral purposes? Where are resources best
allocated to support meaningful teacher learning, in a professional context
where demands overwhelm the time available, and where the cultural norms of
schools may determine higher priority attached to teacher performance and
productivity than to reflection and learning?
Beralih ke tujuan utama dari artikel ini - untuk mengusulkan kebijakan dan administrasi dalam mendorong belajar sepanjang hayat guru dimana pembahasan sebelumnya menunjukkan beberapa pertanyaan untuk dipertimbangkan. Bagaimana kebijakan dan praktek administratif mendorong belajar masyarakat yang memdorong pengembangan pribadi, interpersonal dan organisasi? Bagaimana yurisdiksi dapat mendorong pembelajaran guru dengan cara meneguhkan kapasitas, memungkinkan fleksibilitas, memberikan dorongan dan semangat akuntabilitas untuk belajar tanpa pengawasan dan kontrol melalui kekuasaan hirarkis? Pendekatan apa yang memiliki dampak positif pada pembelajaran siswa, sementara menghargai guru sebagai seorang profesional dengan kebutuhan yang berbeda dengan proses belajar? Apa jenis kebijakan yang dapat menempatkan pentingnya kelanjutan profesional dalam pembelajaran dan pengembangan, tanpa mempersempit fokus ke pengembangan keterampilan individu dan tanpa kontekstualisasi dalam tindakan bersama, kritik sosial dan tujuan moral? Dimana sumber daya terbaik dialokasikan untuk mendukung arti pembelajaran guru, dalam konteks profesional di mana menuntut memenuhi waktu yang tersedia, dan di mana norma-norma budaya sekolah diprioritaskan lebih tinggi pada kinerja guru dan produktivitasnya daripada penerapan dan pembelajaran?
The
remainder of this paper argues for the value of policies and practice
supporting the use of teacher professional growth plans (TPGPs). This position
is based on a qualitative study of mandatory implementation of growth plans in
Alberta. Although it is early yet to discern the real consequences of this
policy in schools or its relation to outcomes such as student achievement, there
are signs demonstrating its positive potential to foster teacher learning. Of
course, as is true for any educational implementation, much depends on the
thought, time and resources dedicated to its success. And not unlike other
educational changes, certain concerns and possible distortions that may inhibit
or neutralize its potential attend this initiative. The following sections present
the policy and this study of its implementation, ending with recommendations
for approaches and resources that we observed to foster teacher learning and
development.
Mengingatkan dari makalah ini berpendapat tentang nilai kebijakan dan praktek yang mendukung penggunaan rencana pertumbuhan guru profesional (TPGPs). Posisi ini didasarkan pada studi kualitatif wajib pelaksanaan rencana perkembangan di Alberta. Meskipun awalnya belum ada perbedaaan nyata antara konsekuensi dari kebijakan ini di sekolah atau hubungannya dengan hasil seperti prestasi siswa, namun ada tanda-tanda menunjukkan potensi positif untuk membantu pembelajaran guru. Tentu saja, seperti halnya untuk setiap pelaksanaan pendidikan, banyak tergantung pada waktu, pikiran dan sumber daya yang didedikasikan untuk keberhasilannya. Dan tidak seperti perubahan pendidikan lainnya, kekhawatiran tertentu dan mungkin distorsi yang dapat menghambat atau menetralisir potensi mempengaruhi pemikiran ini. Bagian berikut menyajikan kebijakan dan studi pelaksanaannya, diakhiri dengan rekomendasi untuk pendekatan dan sumber daya yang kami amati untuk membantu pembelajaran guru dan pengembangan.
(O.D.A & A.F.F)
No comments:
Post a Comment