Pages

Tuesday 1 May 2012

Fostering Teachers’ Lifelong Learning Through Professional Growth Plans: a Coutious Recommendation For Policy


     


 Teachers’ professional development has long been linked to educational reform. Models of professional development are profuse, as are empirical reports of their implementation. Significant issues have been shown to include time, resources, top-down implementation efforts, lack of follow up, lack of contextualization, lack of consideration of teachers’ personal investment in practice, and teacher isolation. Given the vast amount of literature now available to show exactly what enhances and what inhibits professional development in different contexts, there seems little need for further study on the subject.
            Pengembangan profesional guru telah lama dikaitkan dengan reformasi (perubahan) pendidikan. Banyaknya model-model pengembangan profesional merupakan bukti pelaksanaan program tersebut. Dalam pengembangan profesional guru terdapat berbagai masalah penting seperti masalah waktu, sumber daya, jatuh dan bangunnya upaya pelaksanaan, kurangnya tindak lanjut, kurangnya kontekstualisasi, kurangnya kegiatan praktek guru, dan isolasi guru. Mengingat banyak sekali tulisan  sekarang yang tersedia untuk untuk menunjukkan secara tepat apa yang meningkatkan dan apa yang menghambat pengembangan profesional dalam konteks yang berbeda, sepertinya sedikit dibutuhkan  study lebih lanjut tentang hal tersebut.
            However in the past decade, two trends have emerged which have waged significant influence upon our conceptualization and attitudes about teacher learning. One is increasing replacement of the term professional development with the broader signifier lifelong learning. The other is a shift from focus on individual teachers developing skills to conceptualizing learning evolving in communities of practice (Davis and Sumara, 1997). In particular, enthusiasm appears to have grown for the notion of building “learning community” (Mitchell and Sackney, 2001). Together with the changing demographics of the teaching profession, these trends are reconfiguring issues of teachers’ professional development. They are also linking teachers’ knowledge and practice to broader questions pervading other sectors of public service, community and industry, about the purposes of lifelong learning and the links between lifelong learning, work, relationships, and identity.
            Meskipun demikian dalam dua dekade terakhir, dua tren yang muncul berpengaruh pada konseptualisasi dan sikap kita tentang pembelajaran guru. Salah satunya adalah melakukan pergantian (perubahan) istilah pengembangan profesional dengan pengertian yang lebih luas mengenai pembelajaran seumur hidup. Yang lainnya adalah pergeseran dari fokus mengembangkan keterampilan pada individu guru ke mengkonseptualisasikan pengembangan pembelajaran dengan komunitas praktek (Davis dan Sumara, 1997). Secara khusus antusiasme nampaknya telah ditanamkan untuk gagasan menbangun “komunitas belajar” (Mitchell dan Sackney, 2001). Bersama dengan perubahan demografi profesi guru,tren ini mengatur ulang  masalah pengembangan profesional guru. Tren tersebut juga menghubungkan pengetahuan guru dan praktek untuk memperluas pertanyaan yang mencakup sektor pelayanan publik lain, komunitas/masyarakat dan industri, tentang tujuan pembelajaran seumur hidup and hubungan antara belajar seumur hidup, bekerja, hubungan, dan ciri khas.
            The central concern of this article is the role of policy and administration at both provincial, district and school levels seeking to foster teachers’ learning towards improving schools. Policy should support supervisory practice which honours the diverse processes of professionals’ learning as interpretive meaning-making, and links learning to core visions (Sergiovanni and Starratt, 2001). Supervision that supports teacher learning must also somehow navigate between teacher needs for autonomy and flexibility (Green, 1992) and public demands for professional accountability and measurable competency.
            Perhatian utama dari artikel ini adalah peran kebijakan dan administrasi di tingkat provinsi, daerah dan tingkat sekolah yang berusaha untuk membantu pembelajaran guru untuk meningkatkan sekolah. Kebijakan harus mendukung pengawasan yang menghormati berbagai proses pembelajaran profesional sebagai penafsiran makna keputusan, dan hubungan pembelajaran dengan inti visi (Sergiovanni dan Starratt, 2001).Pengawasan yang mendukung pembelajaran guru bagaimanapun juga harus menjalankan/mengatur antara kebutuhan guru untuk otonomi dan fleksibelitas (Green, 1992) dan tuntutan publik untuk akuntabilitas profesional dan kompetensi terukur.
            Teacher professional growth plans (TPGPs) may satisfy these competing interests. Mandated in Alberta in 1998, in New Brunswick in 1997 as portfolios, and currently receiving serious consideration in Nova Scotia, professional growth plans appear to foster the flexibility, holism and affirmation necessary to accommodate diverse teachers and contexts. Because they are teacher-directed, TPGPs honour professional autonomy, yet as policy they urge district commitment to teacher learning. In practice, some districts have demonstrated the potential of TPGPs to catalyse teacher collaboration in ways that build productive learning communities within schools. As a preface to a later discussion of teacher professional growth plans in policy and practice, the following section describes issues of lifelong learning and learning community that deserve consideration by those interested in interventions to foster teachers’ continuing development.
            Rencana pertumbuhan profesional guru (TPGPs) dapat meningkatkan persaingan. Diamanatkan pada Alberta pada tahun 1998, di New Brunswick pada tahun 1997 sebagai kebijakan, dan sekarang serius dipertimbangan di Nova Scotia, rencana pertumbuhan profesional muncul untuk mendorong fleksibilitas, holisme dan penegasan yang diperlukan untuk mangakomodasi beragam guru dan konteks. Karena mereka adalah guru yang diarahkan, TPGPs menghormati otonomi profesional, namun sebagai kebijakan mereka mendesak komitmen daerah untuk pembelajaran guru. Dalam prakteknya, beberapa daerah telah menunjukkan potensi TPGPs untuk meningkatkan kerjasama guru dengan cara membangun komunitas belajar yang produktif di sekolah. Sebagai kata pengantar untuk sebuah diskusi rencana pertumbuhan profesionalan guru pada kebijakan dan praktek, bagian berikut menjelaskan masalah pembelajaran seumur hidup dan pembelajaran masyarakat/komunitas yang patut dipertimbangkan oleh mereka yang tertarik pada untuk mendorong guru melanjutkan pembangunan.
Issues in Professionals’ Knowing, Lifelong Learning and Learning Communities
            Research in professionals’ ways of knowing has for the past few decades focused on how individuals construct knowledge through practice, sometimes with reflection on that practice, in particular communities configured by cultural norms, values, particular language and histories, and politics. Despite much critique, Schon’s (1983) notion of “the reflective practitioner” reflecting critically both on action (after the fact), and reflecting in uncertain, volatile and unpredictable situations continues to be promoted widely in teacher preservice and continuing professional education. Clandinin (1995) has shown how for teachers, personal knowledge is holistically entwined with practical knowledge. Psychoanalysis has excited recent interest in the role of teachers’ desire (Todd, 1997) and resistances (Britzman, 1998) in their learning and teaching, especially in exploring their unconscious knowledge about themselves. Sociocultural views understand teachers’ learning as inseparable from systems of relationships and interactions in which they participate (Davis and Sumara, 1997). Their growth is interconnected with the discourses, meanings, desires and opportunities surrounding them (Garman, 1995).
            Penelitian secara profesional selama beberapa dekade terfokus pada bagaimana individu membangun pengetahuan melalui praktik, kadang-kadang dengan menerapkan pada praktik di masyarakat yang khusus diatur oleh norma-norma, nilai, bahasa tertentu dan sejarah, serta politik. Meskipun banyak kritik, Gagasan Schon’s (1983) tentang penerapan praktek” mencerminkan kritik pada praktek dan faktanya yang mencerminkan ketidak menentuan, ketidak stabilan, dan tidak terdugaan situasi sehingga mempengaruhi pembentukan/pembimbingan guru dan pendidikan profesional. Clandinin (1995) telah menunjukkan bagaimana pengetahuan individual guru berhubungan dengan pengetahuan praktek. Penganalisis belakangan ini tertarik pada peran dari keinginan guru (Todd, 1997) dan penghambatnya (Britzman, 1998) dalam pembelajarannya dan pengajaran, khususnya dalam menggali pengetahuan mereka tentang diri mereka sendiri.  Sosial budaya melihat pemahaman pembelajaran guru sebagai hal yang tidak terpisahkan dari sistem hubungan dan interaksi di mana mereka berpartisipasi  (Davis dan Sumara, 1997). Perkembangan mereka saling dihubungkan dengan wacana, makna, keinginan dan kesempatan di sekitar mereka (Garman, 1995).
            While there is contestation among these views, some overall themes of teacher learning may be argued to include the integration of various knowledges (personal, practical, relational) with teachers’ participation in various communities of the school; the embedding of learning in practice; the important role of intentionality and reflection in learning; and the significance of both internal personal conflicts and external culture and relationships on teachers’ learning. Inspired by these emerging understandings of teacher learning, professional development initiatives in schools have employed a combination of approaches. Poole (1995) claims that clinical supervision has given way to reflective, growth-oriented models of increased collegiality. Others emphasize teacher-directed learning through self-reflection and dialogue in relationships founded upon trust and respect (Garman, 1990; McBride and Skau, 1995). Reflective practice has been encouraged through initiatives training supervisors and teachers in critical reflection (Siens and Ebmeier, 1996), through portfolios (Bosetti, 1996), mentorship programs and action research. In Alberta a study of teacher evaluation practices across the province showed the effectiveness of teachers’ individual goal-setting and reflective selfassessment on an ongoing basis in a culture fostering continuous learning and believing in teachers’ essential competence (Maynes et al, 1995). However, analyses of school-based initiatives to foster teachers’ professional development tend to report similar problems: limited commitment from senior administrators or limited time (Herbert and Tankersley, 1993); teacher commitment varying according to individual philosophies, attitudes and experience of teaching (Hyun and Marshall, 1996) and the lack of monitoring, support and adjustment that is required to sustain change over the long term.
            Walaupun ada pembantahan dengan pandangan ini, beberapa tema pembelajaran guru keseluruhnya dapat dikatakan untuk memasukkan integrasi  dari berbagai macam pengetahuan (pribadi, praktik,kerjasama). Pengetahuan tersebut didapatkan dengan partisipasi guru di berbagai kelompok/komunitas di sekolah; menanamkan pembelajaran dengan praktik; peran penting intensionalitas dan refleksi pembelajaran; dan makna masalah internal perseorangan dengan budaya luar dan hubungannya dengan pembelajaran guru. Terinspirasi oleh pemahaman-pemahaman yang muncul dari pembelajaran guru, gagasan pembangunan profesional di sekolah telah menggunakan berbagai pendekatan. Poole (1995) mengklaim bahwa kebijakan klinis  telah memberikan cara untuk berpikir, tumbuh- berorientasi pada model kolegialitas yang meningkat. Lainnya, menekannkan guru-diarahkan belajar melalui refleksi mandiri dan dialog dalam hubungan yang didasarkan atas kepercayaan dan hormat. (Garman, 1990; McBride dan Skau, 1995). Penerapan pemikiran telah didorong melalui pelatihan inisiatif pengawas dan guru pada pemikiran kritis (Siens dan Ebmeier, 1996), melalui surat (Bosetti, 1996),program bimbingan dan penelitian. Di Alberta penelitian tentang penerapan evaluasi guru di seluruh propinsi menunjukkan efektivitas dari tujuan individu guru (pengaturan) dan penerapan tugas individual secara berlanjut dalam suatu budaya yang mendorong pembelajaran terus menerus dan mempercayai kompetensi penting guru (Maynes et al, 1995). Meskipun demikian, analisis sekolah berbasis inisiatif untuk mendorong pengembangan profesional guru cenderung untuk melaporkan masalah yang sama: komitmen terbatas dari administrator senior atau waktu yang terbatas (Herbert dan Tankersley, 1993); komitmen guru beragam sesuai filosofi hidupnya, sikap dan pengalaman mengajar (Hyun dan Marshall, 1996) dan kurangnya pengawasan, dukungan dan pengaturan yang diperlukan untuk mempertahankan perubahan dalam jangka panjang.
            The term “lifelong learning” invites a much broader scope of definitions than “professional development” of what constitutes worthwhile knowledge and who sets the definition of ‘good teaching’ that guides learning. While professional development clearly denotes learning for the sake of improving professional practice, lifelong learning is not rooted in any particular moral or professional commitment. The question becomes, learning what, and for which purposes? For example, is learning legitimate if it leads people out of teaching? Critics of the current sloganeering surrounding “lifelong learning” are also concerned about the irrevocable yoking of personal learning to vocational ends, marking all learning as economistic and measured according to productivity and efficiency (i.e., Martin, 1999). Lifelong learning becomes an individualistic enterprise, its purpose to consume skills while turning teaching into an endless human resource development project. And as Seddon (2000) argues, this focus threatens the solidarity and collective nature of teaching that grounds learning in ideals of equity and participational democracy.
            Istilah pembelajaran seumur hidup meliputi lingkup definisi yang luas daripada pembangunan keprofesionalan yang merupakan pengetahuan yang bermanfaat dan yang menentukan definisi dari mengajar yang baik dan yang memandu pembelajaran. Sementara pengembangan keprofesionalan jelas menunjukkan pembelajaran demi meningkatkan praktek profesional, belajar seumur hidup tidak berakar pada setiap moral kusus atau komitmen profesional. Pertanyaannya menjadi, belajar apa, dan untuk tujuan apa? Contohnya, apakah sah belajar itu jika membuat orang keluar dari pengajaran? Kritik dari slogan belajar seumur hidup juga fokus dengan ketidakterpisahannya proses pengajaran dengan tujuan akhir, menandai semua pembelajaran sebagai ekonomistik dan diukur sesuai dengan produktivitas dan efisiensi (yaitu, Martin, 1999). Pembelajaran seumur hidup menjadi usaha pribadi, tujuannya untuk mengembangkan dan memperoleh keterampilan sementara penyusunan pengajaran menjadi rencana pengembangan sumber daya manusia yang tak ada habisnya. Dan menurut Seddon (2000) berpendapat, fokus ini mengancam sifat solidaritas dan sifat pengajaran bersama yang dasar pembelajaran mempunyai cita-cita keadilan dan partisipasi demokrasi.
            The notion of “learning community” that has become popular in schools (Sergiovanni, 1994; Shields, 2000) may help avoid potential individualism, vague purposes or technicist approaches to teachers’ lifelong learning. According to Mitchell and Sackney (2000), learning community is developed through building three modes of capacity: personal, interpersonal, and organizational. Building personal capacity involves individual teachers confronting and perhaps reconstructing their structures of personal narratives shaping their practice: embedded values, assumptions, beliefs and practical knowledge. Interpersonal capacity depends on fostering both an affective climate where teachers feel affirmed and motivated to participate, and a cognitive climate that encourages learning. Organizational capacity depends upon the productive rearrangement of structures that can enable and encourage collective learning: resources, power relationships, and work design.
            Gagasan "pembelajaran masyarakat" yang telah menjadi populer di sekolah (Sergiovanni,1994; Shields, 2000) dapat membantu menghindari individualisme potensial, ketidakjelasan tujuan jelas atau teknik pendekatan untuk pembelajaran seumur hidup bagi guru. Menurut Mitchell dan Sackney (2000), belajar masyarakat dikembangkan melalui tiga model pembangunan kapasitas: personal, interpersonal, dan organisasi. Membangun kapasitas pribadi melibatkan guru menghadapi dan mungkin merekonstruksi struktur pemikiran mereka dalam praktek: nilai-nilai yang tertanam, asumsi, keyakinan dan pengetahuan praktis. Kapasitas interpersonal tergantung pada pengembangan iklim afektif di mana guru merasa ditegaskan dan termotivasi untuk berpartisipasi, dan kognitif iklim yang mendorong pembelajaran. Kapasitas organisasi tergantung pada produktif penataan ulang struktur yang memungkinkan dan mendorong pembelajaran bersama: sumber daya, kekuasaan hubungan, dan desain kerja.
            Turning to the central purpose of this article - to propose policy and administrative practice fostering teachers’ lifelong learning - the foregoing discussion suggests several questions for consideration. How might policy and administrative practice encourage learning communities that promote personal, interpersonal and organizational capacity-building? How can jurisdictions encourage teachers’ learning in ways that affirm capacity, allow flexibility, provide incentive and encourage accountability for learning without exercising surveillance and control through hierarchical power relationships? What approaches have positive impact on students’ learning, while honouring teachers as self-directed professionals with different needs and learning processes? What kinds of policy can place importance on continuous professional learning and development, without narrowing the focus to individuals’ skill development without contextualization in collective action, social critique and moral purposes? Where are resources best allocated to support meaningful teacher learning, in a professional context where demands overwhelm the time available, and where the cultural norms of schools may determine higher priority attached to teacher performance and productivity than to reflection and learning?
            Beralih ke tujuan utama dari artikel ini - untuk mengusulkan kebijakan dan administrasi dalam mendorong belajar sepanjang hayat guru dimana pembahasan sebelumnya menunjukkan beberapa pertanyaan untuk dipertimbangkan. Bagaimana kebijakan dan praktek administratif mendorong belajar masyarakat yang memdorong pengembangan pribadi, interpersonal dan organisasi? Bagaimana yurisdiksi dapat mendorong pembelajaran guru dengan cara meneguhkan kapasitas, memungkinkan fleksibilitas, memberikan dorongan dan semangat akuntabilitas untuk belajar tanpa pengawasan dan kontrol melalui kekuasaan hirarkis? Pendekatan apa yang memiliki dampak positif pada pembelajaran siswa, sementara menghargai guru sebagai seorang profesional dengan kebutuhan yang berbeda dengan proses belajar? Apa jenis kebijakan yang dapat menempatkan pentingnya kelanjutan profesional dalam pembelajaran dan pengembangan, tanpa mempersempit fokus ke pengembangan keterampilan individu dan tanpa kontekstualisasi dalam tindakan bersama, kritik sosial dan tujuan moral? Dimana sumber daya terbaik dialokasikan untuk mendukung arti pembelajaran guru, dalam konteks profesional di mana menuntut memenuhi waktu yang tersedia, dan di mana norma-norma budaya sekolah diprioritaskan lebih tinggi pada kinerja guru dan produktivitasnya daripada penerapan dan pembelajaran?
            The remainder of this paper argues for the value of policies and practice supporting the use of teacher professional growth plans (TPGPs). This position is based on a qualitative study of mandatory implementation of growth plans in Alberta. Although it is early yet to discern the real consequences of this policy in schools or its relation to outcomes such as student achievement, there are signs demonstrating its positive potential to foster teacher learning. Of course, as is true for any educational implementation, much depends on the thought, time and resources dedicated to its success. And not unlike other educational changes, certain concerns and possible distortions that may inhibit or neutralize its potential attend this initiative. The following sections present the policy and this study of its implementation, ending with recommendations for approaches and resources that we observed to foster teacher learning and development.
            Mengingatkan dari makalah ini berpendapat tentang nilai kebijakan dan praktek yang mendukung penggunaan rencana pertumbuhan guru profesional (TPGPs). Posisi ini didasarkan pada studi kualitatif wajib pelaksanaan rencana perkembangan di Alberta. Meskipun awalnya belum ada perbedaaan nyata antara konsekuensi dari kebijakan ini di sekolah atau hubungannya dengan hasil seperti prestasi siswa, namun ada tanda-tanda menunjukkan potensi positif untuk membantu pembelajaran guru. Tentu saja, seperti halnya untuk setiap pelaksanaan pendidikan, banyak tergantung pada waktu, pikiran dan sumber daya yang didedikasikan untuk keberhasilannya. Dan tidak seperti perubahan pendidikan lainnya, kekhawatiran tertentu dan mungkin distorsi yang dapat menghambat atau menetralisir potensi mempengaruhi pemikiran ini. Bagian berikut menyajikan kebijakan dan studi pelaksanaannya, diakhiri dengan rekomendasi untuk pendekatan dan sumber daya yang kami amati untuk membantu pembelajaran guru dan pengembangan.

(O.D.A & A.F.F)

No comments:

Post a Comment